Kamis, 10 November 2022

Politik, Birokrasi, dan Korupsi

Oleh M. Fuad Nasar
Munawir Sjadzali, mantan Dirjen Politik Departemen Luar Negeri, Duta Besar RI untuk Emirat Arab, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keemiratan Arab di Kuwait, dan Menteri Agama RI yang menjabat dua periode 1983 – 1993 di masa Orde Baru dalam autobiografinya di buku kenangan 70 Tahun (Kontekstualisasi Ajaran Islam, 1995) menceritakan suka-duka pengalaman meniti karir sebagai diplomat di masa Orde Lama.
Berikut petikan tulisan almarhum Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA:
“Pada tahun 1961, pada waktu saya terasing dari pergaulan di kantor itu datang seorang kawan sesama pegawai Departemen Luar Negeri yang mengaku dikirim oleh seorang tokoh utama dari satu partai Islam yang duduk dalam pemerintahan. Setelah menyampaikan salam dari tokoh tersebut kawan itu memberitahukan bahwa partai itu mendapat jatah beberapa jabatan Duta Besar, bahwa partai itu tidak akan membagikan jatah itu kepada sembarangan orang, dan bahwa saya dianggap merupakan calon yang ideal untuk mengisi jatah itu. Satu-satunya syarat yang harus saya penuhi adalah bahwa saya bersedia menjadi anggota partai tersebut.”
Pak Munawir melanjutkan, “Mungkin orang mengira bahwa bagi saya yang dalam keadaan terpencil itu menganggap kawan yang datang itu sebagai ‘dewa penyelamat’. Dengan nada yang lembut saya sampaikan kepadanya, pertama ucapan terima kasih kepada tokoh partai yang telah mengirim dia dan penghargaan kepada kepercayaan yang beliau berikan kepada saya untuk memanfaatkan jatah itu. Tetapi kepada kawan itu saya sampaikan bahwa dari ayah saya yang pengagum K.H. Ahmad Dahlan, meskipun tidak pernah menjadi anggota Muhammadiyah, saya mendapat amanat agar saya menghayati wasiat beliau bahwa kalau saya harus masuk suatu organisasi harap niat saya yang benar, untuk menghidupkan organisasi dan tidak sebaliknya untuk hidup dari organisasi. Karena itu dengan menyesal saya tidak dapat menerima tawaran itu. Saya tidak akan masuk suatu organisasi untuk menggunakannya sebagai lapangan pencarian nafkah atau untuk mempercepat karir. Kalau memang Allah mentakdirkan insya Allah saya akan menjadi Duta Besar dengan tidak harus masuk partai. Jawaban yang saya berikan dengan sangat sopan itu tampaknya kurang berkenan di hatinya, sebab beberapa hari kemudian di luar dugaan saya diisukan sebagai die hard Masyumi.”
Sebagaimana kita tahu Partai Masyumi telah bubar sejak 1960, tapi kerap menjadi sasaran fitnah dalam dunia politik masa itu dengan memunculkan istilah “die hard Masyumi” terhadap kelompok muslim yang beroposisi terhadap pemerintah. Menyusuri kembali realitas politik Indonesia di era Demokrasi Terpimpin, politisasi birokrasi sangat kentara. Partai-partai politik, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), mempolitisasi birokrasi melalui kader dan simpatisannya di lingkungan birokrasi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sejarah politik Indonesia modern mencatat, penguasa sangat mudah menjadikan birokrasi pemerintahan sebagai wahana politisasi. Birokrasi pemerintahan seharusnya netral dan independen, tapi dalam praktik seringkali digiring menjadi basis pendukung kekuatan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi tahun 1950-an sampai 1960-an berakhir dengan bangkrutnya sistem politik Orde Lama pasca tragedi G.30.S/PKI dan lahirnya Orde Baru tahun 1966.
Orde Baru tidak menginginkan birokrasi terkotak-kotak dalam politik aliran. Akan tetapi menjelang Pemilihan Umum 1971 politisasi birokrasi muncul kembali dengan wajah baru yaitu “monoloyalitas”. Sejalan dengan prinsip monoloyalitas, setiap pejabat pemerintahan di pusat dan daerah merangkap menjadi dewan pembina, penasihat atau fungsionaris GOLKAR. Seiring dengan itu, jajaran pegawai negeri sipil dan pegawai BUMN sebagai anggota KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) “wajib” mendukung dan memilih Golongan Karya (GOLKAR) dalam Pemilihan Umum untuk memilih calon anggota DPR-RI, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II.
Selama tiga dekade rezim Orde Baru, praktik politisasi birokrasi setiap menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum ditandai dengan mobilisasi aparatur negara dalam kampanye mendukung salah satu organisasi peserta Pemilu. Politisasi birokrasi versi Orde Baru dilakukan demi menyukseskan Pembangunan Nasional dan mempertahankan Kepemimpinan Nasional agar tetap di tangan Orde Baru.
Pemilihan Umum selama Orde Baru diikuti oleh 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu: (1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), (2) Golongan Karya (GOLKAR), dan (3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Seperti diketahui, GOLKAR membina mesin politiknya melalui 3 jalur, yaitu Jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan Jalur G (Golkar dalam hal ini jalur ormas, kekaryaan). GOLKAR merupakan the ruller’s party (partai penguasa) dan the rulling party (partai yang berkuasa) dalam enam kali Pemilihan Umum, mulai tahun 1971 sampai 1997. GOLKAR dalam real politic Orde Baru meraih kemenangan signifikan sebagai single majority dalam setiap Pemilu di antaranya karena dukungan solid dari 3 Jalur tadi.
Setelah era Reformasi 1998 birokrasi pemerintahan dibebaskan dari kepentingan politik praktis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Reformasi Perundang-Undangan menempatkan birokrasi dalam garis netral terhadap dunia politik dan kepentingan politisi. Semua jabatan birokrasi pada dasarnya adalah jabatan karir, bukan jabatan politik.
Birokrasi harus steril dari segala kepentingan politik sekalipun dipimpin oleh orang partai dan kader partai politik. “Kesetiaan saya pada partai berakhir ketika kesetiaan saya pada negara dimulai”, kata-kata bijak negarawan Filipina Manuel Quezon (1878-1944) ini menjadi panutan praktik demokrasi yang baik di seluruh dunia. Sikap itulah sejatinya yang paling tepat dimiliki ketika seorang politisi duduk dalam jabatan birokrasi pemerintahan apa pun latar belakangnya.
Kepentingan politisi dan kepentingan birokrasi dua hal yang berbeda dan tidak boleh dicampur-aduk. Dalam dunia politik yang kejam itu dikenal istilah “no free lunch”, artinya “tak ada makan siang gratis”. Saya ingin mengutip tulisan Doddy Yudhista Adam, tokoh perbukuan nasional dan mantan pejabat tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Politisi yang benar-benar pengabdian terhadap bangsa itu langka. Politisi sekaliber M. Natsir, Soekarno waktu muda, Moh Hatta, Moh Roem dan lain-lainnya kini nyaris tidak ada. Nuansa politisi kita jadi ajang cari kekuasaan dan cari makan.”
Birokrasi adalah pelayan masyarakat dan ujung tombak pelaksanaan fungsi negara. Karena itu, penentuan dan pengangkatan pejabat karier harus bebas dari kepentingan politik. Dalam kaitan ini asas meritokrasi dan prinsip the right man on the right place harus dikedepankan. Birokrasi tidak boleh menjadi alat kepentingan elite politik baik langsung ataupun terselubung.
Di tengah fenomena kapitalisasi politik dan banyaknya kasus korupsi di tanah air dewasa ini, dunia birokrasi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) harus memiliki keberanian moral untuk menolak praktik korupsi dan penjarahan uang negara, bukan menjadi bagian dari segala kerusakan itu. Jika birokrasi lemah, korupsi akan subur dan menggurita.
Memperhatikan sinyalemen Dr. Laode Ida, Anggota Ombudsman RI, sungguh memprihatinkan kondisi negara kita bahwa praktik 'ijon proyek' diduga terjadi di seluruh daerah. Semua proyek APBN/APBD sudah ada pengusaha yang mengawal sejak perencanaannya dengan memberikan atau menjanjikan kick back fee kepada pihak-pihak yang menjamin menggolkan proyek itu. Meski formalnya sistem lelang menggunakan elektronik, tetapi yang mengatur elektronik juga adalah manusia. Para pejabat sudah membuat komitmen awal dengan pengusaha yang mengawalnya dan aparat administrasi yang menangani proyek mustahil membangkang kehendak atasannya.
Hasil riset Madrasah Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah pada Februari 2017 mengungkap maraknya praktik rente jabatan di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berpotensi menimbulkan jual beli jabatan. Riset di 10 kabupaten/kota menemukan ada potensi jual beli jabatan ASN mulai Rp 400 juta sampai Rp 1 milyar.
Meski saya percaya tidak semua politisi di negeri ini buruk namun setidaknya kondisi yang ada menjadi alarm agar waspada dan berhati-hati. Salah satu prasyarat dalam membangun budaya demokrasi yang berkeadaban tentu adalah netralitas dan integritas birokrasi. Sejalan dengan Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan yang sedang bergulir di negara kita di era sekarang ini, praktik politisasi birokrasi adalah anomali yang tidak boleh dibiarkan terjadi.
Pemanfaatan birokrasi untuk mendapatkan proyek bagi kepentingan oknum-oknum partai politik dengan cara kolusi harus dihindari dan dilawan dengan penegakan hukum dan aturan. Dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang di kementerian/lembaga dan BUMN, seperti terungkap dalam sejumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, terutama yang melibatkan politisi dan pengusaha, pasti memiliki keterkaitan dengan “politik balas budi” dan konspirasi tingkat tinggi yang memanfaatkan birokrasi.
Komitmen pemerintah dalam menata birokrasi yang unggul dan berkelas dunia (world class bureaucracy) memerlukan langkah serius dan upaya berkelanjutan. Menciptakan birokrasi yang bersih melayani, profesional dan bebas dari korupsi memerlukan dukungan dan rekognisi dari semua pihak. Bisa dibayangkan, betapa moril dan harga diri ASN secara keseluruhan terusik ketika kasus-kasus korupsi di kementerian/lembaga atau pemerintah daerah muncul silih berganti.
Menurut pengamatan saya, ASN idealis dan jujur sebetulnya masih banyak di berbagai instansi pemerintah yang semakin banyak diisi oleh generasi milenial. Di salah satu kementerian yaitu Kementerian Keuangan, seperti diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat ini hampir 50 persen dari jumlah total pegawai Kementerian Keuangan merupakan generasi Y dan generasi milenial. Generasi ini merupakan anak muda yang lahir setelah tahun 1980-an. Ingatlah, dalam sistem yang baik, orang yang rusak bisa dipaksa menjadi baik, tetapi dalam sistem yang rusak, orang baik bisa ikut rusak. Semoga sistem politik dan sistem birokrasi di negara kita ke depan semakin baik sehingga bangsa ini bisa mengucapkan selamat tinggal rezim korupsi dan kleptokrasi.

Lukman Harun dan Potret Dunia Islam

Oleh M. Fuad Nasar
Suatu ketika di tahun pertama pasca bergulirnya gerakan Reformasi, saya diajak oleh saudara Abdul Kholik, SH, teman sesama legal drafter Tim Ahli di DPR-RI bertandang ke ruang kerja Bapak Drs. Lukman Harun.
Lukman Harun waktu itu adalah anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Karya Pembangunan. Ruang kerja anggota dewan berada di gedung yang sama dengan ruang tempat kami sehari-hari bekerja. Bangunan berlantai 24 di Komplek Parlemen itu dahulu namanya Lokawirasabha. Setelah runtuh Orde Baru, namanya diganti menjadi Gedung Nusantara I.
Pertemuan siang itu berlangsung dalam suasana informal dan penuh keakraban. Lukman Harun mengenakan tongkat karena cidera tulang pinggang akibat jatuh. Ia bercerita seputar pers Indonesia, di mana terhadap seorang tokoh tertentu apa saja hingga sekecil-kecilnya mengenai tokoh tersebut, sementara terhadap tokoh yang lain tidak demikian. Saya menangkap pandangan positif Lukman Harun terhadap sisi baik kepemimpinan Presiden Soeharto menjelang akhir masa kekuasaannya. Pak Harto memberi angin segar terhadap aspirasi umat Islam melalui saluran ICMI dan pendirian Bank Muamalat. Saya menyimak ungkapan dan harapan Lukman Harun terhadap perubahan politik yang sedang menggelinding.
Salah satu pesan dan nasihat beliau kepada kami ialah agar mencari kesempatan untuk sekolah lagi dibanding mencari pekerjaan lain. Pesan Lukman Harun baru dapat saya laksanakan beberapa tahun kemudian. Saya dikaruniai kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana UGM. Sayangnya tidak ada lagi kesempatan buat berdiskusi dengan beliau yang telah dipanggil menghadap Ilahi. Sosok Lukman Harun sudah tidak asing lagi bagi saya. Tulisan-tulisannya, sebagian mengangkat hasil kunjungannya ke luar negeri, banyak dimuat dalam majalah Panji Masyarakat dan Kiblat. Tulisan-tulisan Lukman Harun di media massa banyak mengungkap kondisi umat Islam yang tertindas di berbagai belahan dunia. Ia aktif menggerakkan dan memimpin Komite Solidaritas Islam untuk membela perjuangan bangsa Palestina melawan zionis Israel sejak 1967.
Lukman Harun bersahabat dengan pemimpin organisasi pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat dan beberapa tokoh dunia. Sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah melukiskan seperti apa perasaan dan kepedulian Lukman Harun terhadap kesemuan penderitaan umat Islam di belahan dunia sana, “seakan-akan semua itu terjadi pada orang sekampungnya – orang sekampung yang tak pula pernah dilupakannya. Lukman Harun tidak hanya mengurut dada dan berdoa, dia berbuat, berusaha mencari jalan untuk ikut serta, betapapun kecilnya, mengatasi segala penderitaan itu, ungkap Taufik Abdullah. Lukman Harun sekitar tahun 1984 menghimbau kepada pemerintah agar pengiriman TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negeri dihentikan. Menurutnya 80 persen tenaga kerja wanita Indonesia sebagai pembantu rumah tangga waktu itu di Timur Tengah diperlakukan tidak semena-mena. Himbauan Lukman Harun tidak digubris oleh pemerintah.
Di awal Orde Baru, sekitar 1968 dan 1970, Lukman Harun mendapat kepercayaan untuk mengambil peran di pentas politik nasional sebagai Sekretaris Umum Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sedangkan Ketua Umum PARMUSI adalah Djarnawi Hadikusuma, keduanya aktivis Muhammadiyah. Kepemimpinan Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun di PARMUSI berlangsung tidak lama. Pada waktu itu terjadi intervensi dan rekayasa politik penguasa Orde Baru. Penguasa memandang kepemimpinan partai politik Islam tersebut tidak sejalan dengan kepentingannya. Kepemimpinan PARMUSI yang sah akhirnya direcoki dengan konflik dan diakhiri dengan kudeta J. Naro.
Lukman Harun lahir dari keluarga sederhana di Limbanang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada 6 Mei 1934. Ia seorang perantau yang ulet dan percaya diri. Pada 1951 ia merantau ke Jakarta untuk meraih cita-cita melanjutkan pendidikan. Ia masuk SMA Muhammadiyah di Jakarta. Setelah lulus SMA, melanjutkan pendidikan pada Fakultas Sosial Ekonomi dan Politik Universitas Nasional (Unas).
Sejak muda Lukman Harun dikenal sebagai aktivis HMI dan Muhammadiyah. Ia dikenal sebagai aktivis Angkatan 66 yang berperan menurunkan rezim Orde Lama pasca terjadinya malapetaka nasional G-30-S/PKI. A.M. Fatwa dalam tulisan “Romantika Perjuangan dan Persahabatan Dengan Lukman Harun” pada buku Lukman Harun Dalam Lintasan Sejarah dan Politik (2000) mencatat peristiwa aksi rapat akbar mengganyang G-30-S/PKI pada 4 Oktober 1965 di Lapangan Sunda Kelapa Menteng Jakarta – kini Masjid Agung Sunda Kelapa – yang banyak dipelopori oleh Lukman Harun, merupakan aksi pertama kali yang mengkoordinir kalangan umat Islam untuk bersama-sama TNI AD menghancurkan G-30-S/PKI yang selanjutnya aksi-aksi itu merata di seluruh tanah air.
Setelah tragedi pengkhianatan G-30-S/PKI, ia aktif dalam Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu yang kemudian menjadi Front Pancasila, menuntut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia). Lukman Harum pernah menjadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Sebagai tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun menapak jenjang karier organisasi dimulai dari bawah.
Salah satu buku karya Lukman Harun ialah Potret Dunia Islam (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, cetakan pertama 1985). Buku tersebut merangkum catatan perjalanan beliau mengunjungi berbagai negara di lima benua.
Salah satu negara di Afrika yang dikunjungi Lukman Harun tahun 1983 ialah Kenya. Dari sisi geografis, Kenya berbatasan dengan Somalia, Ethiopia, Uganda dan Tanzania. Kenya merupakan negara dengan jumlah penduduk miskin cukup besar. Dalam kaitan ini kemiskinan umat Islam di Kenya memberikan gambaran potret negara-negara muslim di benua tempat kelahiran Nelson Mandela itu.
Walaupun Islam agama mayoritas di sejumlah negara Afrika Hitam, tetapi di beberapa negara umat Islam tidak mempunyai peranan dalam pemerintahan. Negeri mereka suram akibat perang saudara, ditambah kemiskinan dan kelaparan yang menyedihkan. Contohnya ialah Kenya yang wilayah negaranya meliputi Kepulauan Lamu, dicatat oleh beberapa penulis sebagai bekas negara Islam pertama setelah Madinah. Menurut data, umat Islam di Kenya diperkirakan berjumlah 35 persen. Tapi pers Barat selalu memperkecil jumlah umat Islam di Afrika. Kenya bahkan menjadi pusat kegiatan Kristen untuk Afrika Timur dan bagian-bagian Afrika lainnya.
Lukman Harun mengungkapkan betapa miskinnya keadaan umat Islam di Kenya hingga tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. “Seorang yang sudah agak tua, menceritakan bahwa anaknya telah tamat SMA dan ingin melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi, tetapi orang tuanya tidak mampu. Anaknya mengirim surat kepada berbagai negara Arab untuk meminta beasiswa, tetapi tidak mendapat jawaban. Dia lantas berkirim surat kepada sebuah yayasan dari Gereja Kristen. Suratnya itu segera mendapat jawaban yaitu beasiswa untuk belajar di Canada. Tetapi orang tuanya takut, kalau anaknya menjadi Kristen.”
Seorang anak muda mendekati saya – tulis Lukman Harun – dia ingin bicara dari hati ke hati. Anak muda ini berasal dari keluarga yang sangat miskin tetapi taat beragama. Dia ingin melanjutkan pendidikan, tetapi orang tuanya tidak mampu. Dia pun mengirim surat kepada berbagai negara Arab untuk minta bantuan dan beasiswa, tetapi sama sekali tidak mendapat jawaban. Kemudian dia minta beasiswa kepada Gereja setempat dan diberi beasiswa. “Dengan perasaan sedih anak muda tersebut mengatakan kepada saya, kenapa negara-negara Arab yang kaya tidak memperhatikan nasib umat Islam di Kenya? Buat apa uang mereka yang banyak itu? Orang Kristen dari Eropa, Canada, Australia dan Amerika Serikat datang ke Kenya untuk menyebarkan agama Kristen dengan memberikan segala macam fasilitas. Tetapi tidak ada satu pun orang Islam dari luar negeri yang memperhatikan nasib umat Islam di sini.” ungkap Lukman Harun.
Lebih lanjut Lukman Harun menuturkan, “Saya termenung mendengar ungkapan hati anak muda ini. Suatu jeritan umum yang dialami masyarakat Muslim di mana-mana. Kita banyak bicara ukhuwah Islamiyah, tetapi dalam kenyataannya, jauh dari itu. Banyak negara Islam atau umat Islam yang sangat kaya, di samping itu banyak pula terdapat umat Islam yang sangat miskin. Umat Islam yang sangat kaya umumnya di negara-negara minyak di Timur Tengah, sedangkan umat Islam yang miskin betul, di Afrika. Sayang, yang kaya tidak memperhatikan yang miskin. Akhirnya, datang Missi dan Zending Kristen memberikan bantuan kepada mereka.”
Salah satu yang kita kagumi, keyakinan umat Islam di Afrika terutama di Afrika Hitam tidak tergoyahkan walaupun hidup di bawah tekanan kemiskinan dan penderitaan berkepanjangan. “Saya bangga melihat keyakinan mereka akan Islam yang tidak goyah, walaupun mereka miskin. Mereka tidak mau pindah agama, walaupun dirayu dengan uang, makanan, pengobatan, beasiswa dan sebagainya. Inilah salah satu keanehan Islam di Afrika, terutama di Afrika Hitam. Umat Islam umumnya miskin, dakwah hanya dilakukan secara tradisional, tanpa organisasi yang baik, tanpa dana, tanpa rencana, kekurangan guru agama, kekurangan muballigh dan lain sebagainya. Tetapi Islam terus berkembang dengan berbagai cara. Karena itu pulalah Afrika tetap merupakan benua Islam karena penduduknya mayoritas tetap beragama Islam.” tulis beliau.
Menjelang kunjungan kenegaraan dan pastoral Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, tanggal 9 - 14 Oktober 1989, Lukman Harun menemui Presiden Soeharto untuk mendiskusikan masalah tersebut. Lukman Harun memberikan masukan kepada presiden agar kunjungan pemimpin tertinggi umat Katolik seluruh dunia itu dibatasi supaya tidak menimbulkan dampak yang kurang baik bagi umat Islam.
Pagi Jumat 9 April 1999, seorang kawan mengabari saya bahwa Lukman Harun meninggal dunia Kamis 8 April 1999 pukul 12.45 WIB di RS Islam Jakarta, dan akan dimakamkan usai shalat Jumat di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan. Jenazah Lukman Harun dishalatkan di Masjid Istiqlal, diimami oleh K.H. Muchtar Natsir (Imam Besar Masjid Istiqlal). Pidato pelepasan jenazah di Masjid Istiqlal disampaikan oleh Menteri Agama Prof. A. Malik Fadjar, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. K.H. Ali Yafie, serta Duta Besar Arab Saudi di Jakarta Abdullah bin Abdurrahman Halim. Jenazah almarhum disemayamkan beberapa saat di Gedung MPR-DPR-RI. Saya menghadiri pemakaman jenazah Lukman Harun di TPU Tanah Kusir. Banyak orang menghadiri pemakamannya.
Dengan meninggalnya Lukman Harun, Persyarikatan Muhammadiyah kehilangan salah satu kader terbaiknya. Umat Islam dan bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi “duta umat Islam Indonesia” di dunia internasional. Hampir separoh hidupnya diabdikan untuk pergerakan Islam dan perjuangan bangsa. Di berbagai lembaga/organisasi, termasuk MUI, Lukman Harun pernah aktif sebagai anggota Dewan Pimpinan MUI periode 1975 – 1980 dan kemudian Ketua Hubungan Luar Negeri MUI. Di lingkungan organisasi Muhammadiyah, Lukman Harun pernah menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendampingi K.H. A.R. Fachruddin.
Mengutip pandangan Prof. Harun Zain, mantan Gubernur Sumatera Barat dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi seputar teladan dari perjalanan hidup Lukman Harun dalam buku Lukman Harun Dalam Lintasan Sejarah dan Politik bahwa beliau (Lukman Harun) adalah seorang yang berjiwa kemasyarakatan yang tulen walaupun kehidupan keluarganya adalah pas-pasan saja. Bukan saja generasi muda dapat belajar dari pengalaman hidup beliau, malahan kita-kita yang sudah tua ini dapat pula mencontoh pengalaman sejarah hidup beliau. Pergaulannya sangat luas dalam masyarakat. Mulai dari pergaulannya dengan presiden sampai dengan padagang kaki lima. Kita mengetahui bahwa pergaulan yang luas dalam masyarakat adalah modal yang sangat berguna bagi seorang pemimpin yang dapat menimbulkan kepercayaan dari pengikut-pengikutnya. Kepercayaan kepada pemimpin inilah yang akhir-akhir ini sudah menjadi barang langka.
Saya pernah satu forum dengan beliau dalam acara rapat dan pernah juga melakukan komunikasi melalui tilpon. Sebagai tokoh kaliber nasional, Lukman Harun dikenal hingga ke manca negara. Ia bukan tipe orang yang tinggi hati atau jaga image. Lukman Harun memiliki kepribadian yang terbuka dan well come terhadap siapa saja. Lukman Harun telah menunaikan tugasnya. Allah telah memanggilnya dari dunia fana dalam usia 65 tahun. Kepergian seorang aktifis sejati dan tokoh Islam yang memiliki pengalaman dan jaringan luas di dalam dan di luar negeri seperti Lukman Harun merupakan kehilangan yang sulit tergantikan.
Sungguh beruntung kader-kader Muhammadiyah dan HMI yang pernah berinteraksi, mendapat bimbingan langsung dan dikader oleh Lukman Harun dan kawan-kawan. Dari segi peranan ketokohan Lukman Harun menjadi “jembatan” tokoh-tokoh Islam generasi pendiri republik dengan generasi penerus dan pelanjut perjuangan dalam mengisi kemerdekaan. Ia seorang tokoh yang menghayati zamannya. Semoga perjalanan bangsa ke depan melahirkan pemimpin dalam kriteria yang dibutuhkan. Kini banyak demagog, tapi sedikit ideolog, ilmuwan, negarawan dan pemimpin. Pemimpin yang meyakini Islam sebagai pedoman hidup sepanjang masa dalam mencapai sukses dunia dan akhirat sangat kita butuhkan saat ini.
Jakarta, 1 Muharam 1440 H
Penulis adalah sahabat maya, beliau selalu memberikan motivasi dan artikel - artikelnya melalui email pribadi saya, terima kasih Bapak yang sudah menjadi inspirator dalam diri pribadi saya yang lemah ini.